RILIS PERS Hasil Penelitian Program Bali Water Protection 2018 – Yayasan IDEP Selaras Alam – Politeknik Negeri Bali

by Bali Water Protection

Bali adalah surga yang sedang terancam karena penurunan kuantitas dan kualitas airnya yang semakin mengkhawatirkan. Secara teknis, ada tiga hal yang menjadi indikasi masalah, yaitu penurunan muka air tanah, disusul intrusi air laut ke lapisan akuifer (lapisan bawah tanah yang mengandung air dan dapat mengalirkan air), dan polusi air permukaan.

 

Tiga Masalah: Turunnya Muka Air Tanah, Intrusi Air Laut, dan Polusi Air

Di beberapa wilayah di Bali, khususnya di bagian selatan, muka air tanah mengalami penurunan hingga lebih dari 50 meter dalam waktu kurang dari 10 tahun. Banyak sumur mulai mengalami kekeringan. Jika tidak, maka isinya sudah tercemar.

Penurunan muka air tanah ini disebabkan oleh tingkat pengambilan air tanah (eksplorasi) yang jauh melebihi tingkat pengisiannya kembali (imbuhan). Apalagi jika hal ini terus berlangsung dalam jangka waktu lama.

Tidak hanya muka air tanah, air permukaan seperti danau dan sungai pun mengalami hal yang sama. Pada tahun 2012, Danau Buyan sebagai sumber pasokan air tawar terbesar kedua bagi Bali bahkan mengalami penurunan hingga 5 meter. Belum lagi ditambah cerita-cerita dari petani dan masyarakat seputaran aliran sungai yang mengeluhkan adanya penurunan debit air dan pencemaran sungai.

Ketika muka air tanah semakin menurun dan menyebabkan rongga di lapisan akuifer, intrusi air laut ke akuifer menjadi sulit dihindari. Akibatnya, kualitas air tanah tidak lagi sehat untuk dikonsumsi. Jika demikian, maka itu adalah salah satu situasi ekologis yang butuh waktu sangat lama untuk diperbaiki.

Pada soal polusi air permukaan, status Sungai Ayung dan Pakerisan dapat diangkat jadi contoh. Sebelumnya, status dua sungai ini masih berada di Kelas II, artinya layak untuk olahraga air. Namun demikian, karena polusi statusnya kemudian diturunkan ke Kelas III yang berarti hanya layak untuk pertanian. Pada tahun 2006, karena sanitasi dan pengelolaan limbah (rumah tangga, industri, dan residu bahan kimia dari pertanian) yang buruk, sebanyak 21 sungai memiliki tingkat polusi beragam mulai dari angka -30 sampai -70, dengan angka 0 sebagai tingkat yang dianggap aman.

 

Dampak Pariwisata

Ironisnya, pengisian kembali air tanah secara alami tidak dapat diandalkan. Pasalnya, tingkat kebutuhan air di Bali terus bertambah setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya jumlah populasi dan kunjungan wisatawan. Bahkan kini kebutuhan air untuk pariwisata 15 kali lebih besar dibandingkan kebutuhan air masyarakat lokal. Belum lagi, sebagai dampak dari pertumbuhan di sektor pariwisata, pertumbuhan jumlah bangunan terkait unit bisnis pariwisata (hotel, resort, vila, restoran, kafe, dan lain-lain) semakin mengurangi daerah resapan air. Kurangnya area resapan air ini bahkan telah menyebabkan 117 kali peristiwa banjir di Bali pada tahun 2018.

Untuk diketahui, kebutuhan air baku (untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga) di Bali tidak sepenuhnya dapat dipenuhi oleh PDAM. Akibatnya, sebagian besar unit bisnis pariwisata mengambil air bawah tanah. Sayangnya, proses eksplorasi air bawah tanah ini terjadi tanpa kontrol karena belum ada pengawasan dari pemerintah terhadap operasional dan volume penyedotan yang selama ini dilakukan para operator sumur-sumur bor, baik yang berizin maupun yang tidak.

Beberapa pernyataan yang dirilis pers bahkan menyatakan bahwa Bali telah mengalami krisis air dan intrusi air laut pada beberapa destinasi wisata utama. Misalnya, data yang dirilis oleh Walhi Bali mengungkapkan bahwa penggunaan air di Bali kini telah melebihi kapasitas siklus hidrologi sehingga kuantitas dan kualitas air di Bali telah mengalami krisis. Sementara Badan Lingkungan Hidup (BLH) Bali menyatakan bahwa intrusi air laut sudah mencapai 1 kilometer di daerah Sanur dan 8 meter di daerah Kuta.

Berdasarkan investigasi yang dilakukan Walhi Bali, di daerah Kerobokan dan Uma Alas terdapat lebih dari 1.000 vila yang semuanya memiliki kolam renang. Itu artinya, untuk kawasan sekecil itu (satu kelurahan), ada penyedotan air tanah yang dilakukan melalui lebih dari 1.000 sumur bor. Dari situ saja dapat dibayangkan bahwa kondisi air tanah, khususnya untuk wilayah Bali Selatan (Denpasar dan Badung) yang merupakan salah satu titik destinasi utama, sedang mengalami masalah yang sangat serius.

Sementara berdasarkan data pemungutan pajak air bawah tanah yang dirilis BLH Kota Denpasar pada Desember 2010, tercatat ada 1.088 sumur bor yang mengantongi izin operasional di Kota Denpasar. Volume pengambilan air tanah yang dilakukan sumur-sumur bor tersebut selama bulan November 2010 adalah sekitar 4.183.452 m3. Kalau dirata-ratakan selama setahun, maka eksplorasi air tanah yang dilakukan oleh industri di kota Denpasar adalah sebesar 50.201.424 m3.

Sebagai perbandingan, pemakaian air baku yang bersumber dari sumur-sumur bor PDAM Denpasar (14 sumur bor) selama tahun 2003 adalah 9.400.902 m3. Jika volume air tanah yang dieksplorasi PDAM Denpasar diasumsikan masih sama dengan tahun 2003, maka total eksplorasi air tanah selama setahun mencapai 59.602.326 m3/tahun (Sihwanto, 2004).

Jika jumlah eksplorasi yang dilakukan para operator sumur-sumur bor yang tidak memiliki izin juga ditambahkan, maka sesungguhnya jumlah eksplorasi air tanah yang dilakukan pada Cekungan Air Tanah Denpasar-Tabanan hampir pasti jauh melebihi angka yang disebutkan tadi.

Menurut Sihwanto (2004), laju penurunan air tanah pada kurun waktu 1985-2004 di Cekungan Air Tanah Denpasar-Tabanan adalah sebesar 1,4 meter – 29,2 meter atau dengan kata lain 7,37 cm – 153,68 cm/tahun.

Imbuhan terhadap air tanah dapat dilakukan secara alami oleh air hujan. Curah hujan rata-rata di Denpasar Timur adalah 4,2 juta m3 per tahun (rata-rata untuk kota Denpasar adalah 16,8 juta m3 per tahun). Namun demikian, hanya 8,36 % dari volume air hujan tersebut (1,4 juta m3) yang meresap ke dalam tanah. Sisanya terbuang melalui sungai dan saluran air lainnya menuju laut (BLH Denpasar, 2012).

Laporan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Bali pada 2010 berjudul Management and Conservation of Water Resources (Bali Province) menyingkap bahwa telah terjadi ekplorasi air tanah dengan kategori tinggi (Gambar 1.1). Kawasan yang ditandai sebagai zona merah tersebut merupakan kawasan dengan aktivitas pariwisata yang tinggi. Kajian yang sama juga merilis daerah-daerah yang diduga telah mengalami intrusi air laut (Gambar 1.2). Sulit mengelak bahwa aktivitas eksplorasi air tanah yang tinggi itu berpotensi mempercepat intrusi air laut dan menurunnya elevasi serta kualitas air tanah.

 

Gambar 1.1. Kawasan eksplorasi air tanah dengan kategori tinggi

 

Gambar 1.2 Kawasan yang mengalami intrusi air laut

 

Namun demikian, belum ada penelitian yang tercatat telah melakukan penelusuran secara lebih detail mengenai seberapa besar penurunan kualitas air tanah, seberapa jauh instrusi air laut, dan seberapa jauh penurunan muka air tanah akibat eksplorasi yang tinggi pada kawasan-kawasan yang masuk zona merah tadi.

 

Program BWP

Dalam rangka itu, Yayasan IDEP Selaras Alam (IDEP) bekerjasama dengan Politeknik Negeri Bali untuk melakukan penelitian terkait. Kerjasama penelitian ini merupakan bagian dari program Bali Water Protection (BWP). Program penyelamatan air Bali yang dimulai sejak 2014 ini bertujuan mendorong gerakan masyarakat untuk pemulihan kuantitas dan kualitas air Bali melalui tiga hal, yakni Adopsi Sumur Imbuhan, Adopsi Sungai, dan Adopsi Kampanye Air (selengkapnya dapat ditelusuri melalui tautan http://idepfoundation.org/id/bwp/about-bwp).

Penelitian yang dilakukan selama tahun 2018 itu dikerjakan dengan bekal beberapa rumusan masalah berikut:

  1. Seberapa besar penurunan kualitas air tanah pada daerah-daerah pesisir di Bali, terutama yang mengalami eksplorasi air tanah dengan kategori tinggi?
  2. Seberapa jauh intrusi air laut sudah terjadi saat ini?
  3. Berapa rata-rata elevasi muka air tanah saat ini?
  4. Daerah mana saja yang dapat dikategorikan sebagai daerah imbuhan?
  5. Berapa potensi sumber daya air dan berapa besar kebutuhan air di Bali?
  6. Bagaimana sistem pemantauan air tanah agar dapat dipakai untuk mengetahui jumlah air imbuhan dan pengaruhnya terhadap ketinggian muka air tanah?

 

Kesimpulan Penelitian

Beberapa rekomendasi dari penelitian itu adalah sebagai berikut:

  1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua kabupaten yang menjadi obyek survey memiliki kualitas air yang tidak memenuhi baku mutu sesuai dengan SK Menteri Kesehatan No. 907/MENKES/SK/VII/2002. Ketidaksesuaian dengan baku mutu terjadi karena adanya kandungan klor dan kesadahan.
  2. Daerah-daerah dengan kategori Tidak Layak untuk hasil pengujian klor terdapat di Kabupaten Badung, Tabanan, Jembrana, Buleleng dan Karangasem. Artinya, di tempat-tempat tertentu di lima kabupaten tersebut telah mengalami intrusi air Laporan KLHS Bali 2010 tidak mencantumkan Kabupaten Tabanan dan Karangasem sebagai daerah yang mengalami intrusi air laut. Artinya, hasil penelitian BWP ini menunjukkan bahwa daerah yang mengalami intrusi telah meluas.
  3. Penelitian BWP tentang eksplorasi air tanah menunjukkan hasil yang bersesuaian dengan Laporan KLHS 2010.
  4. Perpaduan antara metode tekuk lereng dan pengeboran telah menghasilkan Peta Daerah Imbuhan yang dibagi menjadi tiga zona, yaitu daerah imbuhan utama, daerah imbuhan tambahan, dan daerah imbuhan tidak berarti.
  5. Walaupun Bali secara umum mengalami surplus air, namun kelebihan air di musim penghujan tidak dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air di musim kemarau. Kelebihan air di musim penghujan hanya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pertanian dan bukan berupa air baku yang layak untuk dikonsumsi. Sehingga pada kenyataannya, baik di musim penghujan maupun di musim kemarau, Bali mengalami kekurangan pasokan air baku.
  6. Mekanisme sistem pemantauan air tanah dapat dilakukan melalui pemantauan ketinggian muka air tanah pada sumur pantau. Fluktuasi muka air tanah pada sumur pantau dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui jumlah air imbuhan dan pengaruhnya terhadap peningkatan ketinggian permukaan air tanah lokal dari sumur imbuhan yang akan dibangun.

 

Rekomendasi Penelitian

Beberapa rekomendasi dari penelitian itu adalah sebagai berikut:

  1. Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendetail, komprehensif, dan berkelanjutan tentang kualitas dan kuantitas air tanah sehingga tersedia data dasar yang cukup jumlahnya, yang selalu terbarukan. Hal itu penting untuk memantau potensi dan kualitas sumber daya air tanah dari waktu ke waktu dan juga sebagai acuan dalam mengambil kebijakan atau langkah yang dianggap perlu dalam upaya konservasi air tanah.
  2. Sesegera mungkin melakukan tindakan untuk menahan laju intrusi air laut agar tidak masuk lebih jauh lagi ke wilayah daratan. Harus segera dilakukan upaya khusus untuk mengembalikan keberadaan air tanah, tidak hanya pada daerah yang mengalami intrusi air laut namun juga pada daerah-daerah imbuhan lain dengan cara memasukkan air permukaan secara sengaja ke dalam tanah. Salah satunya melalui pembuatan sumur- sumur imbuhan.
  3. Pemanfaatan air tanah perlu dikelola secara ketat karena ketersediaannya yang terbatas dan adanya kecenderungan untuk menjadikan air tanah sebagai andalan untuk memenuhi kebutuhan air pada saat musim kemarau. Walaupun air tanah merupakan sumber daya alam yang terbarukan, namun pada kondisi tertentu ketika laju pengambilan lebih besar daripada laju pembentukannya, air tanah dapat menjadi sumber daya alam yang tidak terbarukan. Air tanah harus dikelola secara terpusat berbasis CAT.
  4. Pengelolaan air permukaan dan air tanah tidak dapat dipisahkan sehingga harus dilaksanakan sebagai satu kesatuan yang terpadu. Air permukaan sangat erat kaitannya dengan air tanah. Karena itu, perlu dilakukan usaha yang lebih serius untuk menetapkan dan menjaga kawasan yang termasuk dalam daerah imbuhan utama (kawasan konservasi). Pengelolaannya mesti dilakukan secara terpusat oleh provinsi yang secara konsisten menerapkan peraturan daerah tentang Tata Ruang disertai dengan sanksi yang tegas bagi yang melanggarnya.
  5. Memberikan insentif berupa dana alokasi khusus kepada kabupaten sebagai kompensasi karena telah ikut menjaga dan melestarikan daerah-daerah konservasi di wilayahnya masing-masing. Besarannya kemudian ditentukan secara proporsional sesuai dengan luas wilayahnya.
  6. Melarang pemanfaatan air tanah untuk keperluan industri pada daerah-daerah dengan kategori imbuhan utama. Pada saat yang sama membatasi pemanfaatannya hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik. Hentikan izin eksplorasi air tanah pada daerah yang telah mengalami intrusi.
  7. Mengoptimalkan pemanfaatan air permukaan untuk memenuhi kebutuhan air dan menjadikan air tanah hanya sebagai cadangan.
  8. Melakukan penghijauan pada daerah konservasi, memperbanyak pembangunan embung, bendungan, dan bangunan penampung air lainnya pada daerah-daerah imbuhan untuk menampung kelebihan air pada saat musim hujan untuk memenuhi kebutuhan air pada saat musim kemarau. Ini sekaligus juga sebagai bagian dari upaya konservasi untuk meresapkan air ke dalam tanah guna menambah cadangan air tanah.
  9. Memperbanyak jumlah sumur pantau yang disebar secara merata ke seluruh Bali, terutama pada daerah-daerah dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi dan perkembangan pariwisata yang pesat, khususnya pada daerah-daerah yang sudah mengalami intrusi air laut.
  10. Membatasi eksplorasi air tanah dengan meningkatkan pajak air tanah, sekaligus mendorong optimalisasi penggunaan air permukaan sebagai air baku untuk memenuhi kebutuhan air.
  11. Sumur-sumur PDAM yang berada di daerah instrusi (kalau ada) mesti segera dihentikan operasinya. Selanjutnya itu dialihkan ke daerah-daerah yang jauh dari daerah intrusi.
  12. PDAM harus memprioritaskan melayani kebutuhan air bersih untuk daerah- daerah yang terindikasi mengalami intrusi.
  13. Sebelum terbentuknya otorita pengelolaan air tanah berbasis CAT, permanfatan air tanah harus di bawah kendali PDAM. Ini tidak boleh dikendalikan oleh pihak swasta sebagai pemilik sumur. Selain itu, mesti dilakukan pengawasan yang ketat terhadap jumlah air yang boleh dimanfaatkan.
  14. Perusahan yang melakukan ekplorasi air tanah diharuskan membuat beberapa sumur imbuhan dengan kapasitas imbuhan yang berbanding lurus dengan jumlah air yang diambil sebagai kompensasi terhadap pemanfaatan air tanah.
  15. Data terkait pemanfaatan dan ketersediaan air tanah sebaiknya bersifat terbuka dan dijadikan konsumsi publik sehingga ada kontrol masyarakat.
  16. Mengatasi masalah air tanah tidak cukup dilakukan kalangan akademisi dan LSM saja, tetapi harus ada gebrakan yang diprakarsai pemerintah berupa gerakan menabung air tanah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten, melalui regulasi yang mencantumkan keharusan bagi setiap pemohon IMB untuk membuat sumur imbuhan di pekarangan rumahnya.
  17. Harus ada usaha dari perguruan tinggi maupun LSM untuk selalu mengingatkan dan mendorong pemerintah daerah untuk membuat program dan kegiatan yang berhubungan dengan konservasi air tanah.
  18. Perlu dibuat suatu daerah contoh pembuatan sumur imbuhan yang dilengkapi dengan sumur pantau. Melalui sumur pantau ini, jumlah air imbuhan dari sumur imbuhan yang dibangun dan pengaruhnya terhadap ketinggian permukaan air tanah lokal di daerah tersebut dapat diukur. Daerah yang dapat dipilih sebagai daerah percontohan ini adalah daerah imbuhan dengan kategori daerah imbuhan tambahan dan daerah imbuhan tidak berarti, termasuk juga daerah yang terkena intrusi air laut. Sebagai contoh, daerah yang memenuhi kriteria ini adalah daerah Gondol dan Pemuteran di Kabupaten Buleleng.

 

Narahubung:

Edward Angimoy, RD Officer Yayasan IDEP Selaras Alam:

[email protected], 0821 4724 5648.

 

Catatan Lain:

– Tentang Yayasan IDEP: Visi & Misi

– Tentang program Bali Water Protection: Bali Water Protection


About the Author


Bali Water Protection


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *